Label

Minggu, 05 Februari 2012

Kemiskinan Multidimensi


Oleh Munzami Hs – Sebuah negara atau suatu daerah dapat dikatakan makmur dan sejahtera (welfare state) antara lain; jika kondisi masyarakatnya telah terbebas dari tingginya angka kemiskinan, pengangguran, kebodohan dan berbagai penyakit sosial lainnya yang masih menghantui masyarakat.

Eropa barat dan utara misalnya, sebagai kawasan di Eropa yang tingkat kemakmuran negara di dalamnya sudah berada pada kondisi di mana tingkat buta huruf, pengangguran dan kemiskinan masyarakatnya relatif rendah, sehingga negara-negara di kawasan ini sering disebut Welfare State atau Darussalam dalam bahasa Arab. Di antaranya; Swiss, Swedia, Norwegia, Inggris, Prancis hingga negara sekecil Belgia. Kondisi mereka saat ini kemungkinan serupa dengan kondisi kejayaan Aceh Darussalam lima abad yang lalu terutama di masa Sultan Iskandar Muda yang referensi sejarahnya bisa ditemukan di berbagai naskah dan literatur, baik yang ditulis oleh penulis lokal, nasional maupun internasional.

Aceh Darussalam saat ini telah berubah wujud menjadi Pemerintahan Aceh pasca disahkannya UUPA dan telah mengalami berbagai dinamika kehidupan masyarakat yang sangat kompleks sejak era perang dan konflik yang sangat panjang (sejak Perang Aceh–Belanda 1873 sampai MoU Helsinki tahun 2005). Kondisi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Aceh berada dalam situasi penuh perjuangan untuk mempertahankan harkat dan martabat Aceh. ’’…Allah hai do do da idang, seulayang blang kaputoh taloe, beurijang rayeuk muda seudang, ta jak bantu prang ta bela nanggroe.’’ Petikan lirik lagu (dipopulerkan oleh grup musik Nyawoeng) tersebut menandakan kecintaan para ibu terhadap harga diri Aceh sehingga anaknya direlakan maju ke medan perang.
Ketika masyarakat Aceh larut dalam konflik dan fokus terhadap perjuangan, ada beberapa aspek kehidupan yang nyaris tak terprioritaskan dan tanpa disadari terabaikan. Dalam pemikiran yang sedikit skeptis barangkali ada upaya-upaya tertentu untuk terus melakukan pembodohan dan pemiskinan terhadap masyarakat Aceh.
Aspek-aspek tersebut di antaranya perjuangan mendapatkan pendidikan yang layak, keadilan ekonomi, maupun perjuangan akan pelestarian nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Pengabaian perjuangan akan aspek-aspek tersebut di antaranya juga merupakan variabel yang menjadikan tingkat kemiskinan dan pengangguran di Aceh masih di atas rata-rata nasional serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh juga masih peringkat kelima terbawah dari 33 Provinsi di Indonesia. (UNDP, 2010).
Mengenai kemiskinan, Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Kesra RI mengelompokkan kemiskinan menjadi tiga dimensi yaitu; 1. Kemiskinan ekonomi, 2. Kemiskinan ilmu dan keahlian, 3. Kemiskinan moral, akhlak dan mentalitas. Jika ketiga unsur ini masih menghantui masyarakat maka akan berpotensi merusak tatanan ekonomi, sosial budaya, bahkan tatanan politik terutama kemiskinan akan penerapan nilai-nilai yang luhur. Dari tiga dimensi kemiskinan diatas, jika kita refleksikan ke dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh saat ini, maka tiga hal tersebut masih menjadi ’’hantu’’ yang menakutkan bagi tatanan ekonomi, sosial budaya dan politik yang terjadi di Aceh.
Dimensi pertama, yaitu kemiskinan ekonomi. Hal ini dapat terlihat dari masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di Aceh yang masih di atas rata-rata nasional. Ini tentu menjadi PR utama bagi siapa saja yang nantinya terpilih menjadi gubernur, bupati dan walikota selaku decision maker untuk periode 2012-2017.
Pemerintah senantiasa melakukan langkah nyata terhadap keterpurukan ekonomi Aceh, bukan hanya mengidam-idamkan kesejahteraan bagi rakyat, tetapi melakukan langkah nyata melalui penyediaan lapangan kerja, pembukaan industri-industri yang berbasis sumber daya alam lokal yang memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage), misalnya; industri pengolahan hasil perikanan, hasil perkebunan dan hasil pertanian Aceh yang dulunya merupakan komoditas unggulan Aceh, bukan malah memprioritaskan pada eksplorasi tambang dan mineral Aceh, karena sektor ini akan berdampak negatif terhadap kelangsungan masa depan anak cucu Aceh. Salah satu contoh dari dampak sektor ini seperti yang terjadi pada kasus Lumpur Lapindo yang menenggelamkan hampir sebagian daratan Sidoarjo–Jawa Timur.
Dimensi kedua, kemiskinan ilmu dan keahlian. Ilmu pengetahuan dan softskill merupakan modal utama bagi sumber daya manusia untuk bersaing mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, apalagi persaingan tanpa batas di zaman globalisasi sekarang ini. Oleh karena itu, butuh sumber daya yang kompeten dan softskill yang terampil untuk memenangkan persaingan.
Dalam konteks Aceh, masih tingginya angka pengangguran baik terdidik maupun tak terdidik saat ini serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh yang masih tertinggal dari daerah lain merupakan sebuah penyakit bagi masyarakat terutama untuk generasi muda sebagai pewaris masa depan Aceh. Fenomena ini merupakan sebuah tantangan terutama bagi Institusi Pendidikan Tinggi yang ada di Aceh untuk melahirkan human resources yang cakap dan berkompeten, dan hal ini sesuai dengan janji kemerdekaan Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dimensi ketiga, kemiskinan moral, akhlak dan mentalitas. Sebuah catatan sejarah pasca tahun 1903, terkirim sepucuk surat dari Sultan Aceh terakhir yang ditujukan kepada Teungku Chik Di Tiro dimana mengandung pesan bahwa ’’Sekarang telah banyak putera-puteri bangsa yang tidak mendapat pendidikan karena pusat-pusat pendidikan sudah tidak berfungsi lagi, kalau keadaan berlanjut terus demikian, Angkatan Muda Aceh yang akan datang menjadi jahil dan dapat condong ke arah kekafiran’’. (Buku 50 Tahun Aceh Membangun, hal.66).
Makna surat tersebut menandakan betapa pentingnya pendidikan bagi generasi muda Aceh, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama. Oleh karena itu, pasca keluarnya surat tersebut di Aceh berdiri berbagai pusat pendidikan atau dayah pada saat itu sehingga para Ulama Aceh dapat terus membekali generasi muda Aceh dengan pendidikan berbasis Islam, antara lain pendidikan moral, akhlak dan etika atau istilah dunia pendidikan disebut pendidikan afektif.
Beranjak ke kondisi Aceh sekarang, revitalisasi peran ulama dan akademisi dalam hal ini begitu sakral demi menjaga kelangsungan kehidupan masyarakat Aceh yang berperadaban. Jangan lagi timbul tindakan-tindakan dan perilaku-perilaku jahiliyah di dalam masyarakat sehingga cita-cita akan sebuah masa depan Aceh yang damai, berkeadilan dan menuju kesejahteraan sosial secara perlahan bisa terwujud. Amin!
Penulis : Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unsyiah dan Pegiat di IDEAS.
Artikel ini dimuat di : Harian Aceh

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini