Label

Rabu, 15 Juni 2011

Aceh Butuh "Sekolah"

SEJAK pemerintah kolonial Hindia Belanda memproklamirkan perang dan pendudukan atas Kerajaan Aceh Darussalam pada 26 Maret 1873 hingga tercapainya perjanjian damai MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 lalu, Aceh telah melewati sebagian usianya dengan rangkaian konflik multidimensi yang berkepanjangan, jauh dari kehidupan demokrasi dan damai lebih kurang selama 132 tahun. 

Konflik yang berkepanjangan ini dimulai dari perlawanan rakyat Aceh terhadap imperialisme pemerintah kolonial Belanda hingga tahun 1942, kemudian perlawanan terhadap pendudukan Jepang sampai tahun 1945, perlawanan DI/TII (sejak 20 September 1953) di bawah pimpinan Tgk Daud Beureueh sebagai akibat kekecewaan terhadap Pemerintah Indonesia rezim Orde Lama, sampai gerakan perlawanan GAM di bawah pimpinan Tgk Hasan Tiro selama hampir 30 tahun (sejak 4 Desember 1976) terhadap Pemerintah Indonesia rezim Orde Baru dan Orde Reformasi hingga tercapainya MoU Helsinki pada Agustus 2005 lalu, tepatnya 5 bulan pascabencana gempa dan tsunami melanda Aceh.

Rangkaian perjalanan sejarah ini telah menjadikan Aceh yang dulunya sudah terbiasa hidup dalam suasana konflik hingga bencana memasuki gerbang sejarah baru yaitu kehidupan bernuansa perdamaian pascadamai Helsinki.

Secara biologis, pasca-penandatanganan MoU Helsinki, Aceh akan menginjak usia 6 tahun pada 15 Agustus tahun ini. Jika dianalogikan sebagai seorang anak, maka Aceh hari ini sedang berada pada usia kanak-kanak menjelang masuk pendidikan Sekolah Dasar. Artinya, sebuah fase kehidupan baru telah dimulai di Aceh dalam nuansa damai dan demokratis atau seperti yang digagas oleh berbagai elemen masyarakat Aceh mengenai sebuah tatanan “Aceh Baru” yang damai dan demokratis menuju “Welfare State” atau “Nanggroe Seujahtra”.

Usia 6 tahun pascadamai merupakan momentum awal bagi Aceh untuk bangkit, mempersiapkan diri dan menyusun kerangka pembangunan yang visionable dan sustainable untuk sebuah masa depan 4.486.570 juta jiwa masyarakat Aceh (Data Hasil Sensus Penduduk, BPS:2010) yang demokratis, “merdeka” dan sejahtra, terutama merdeka dari kebodohan dan merdeka dari kemiskinan, tentunya cita-cita sosial ini akan bisa terwujud melalui pendidikan yang terintegrasi dan berkelanjutan karena sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri yaitu untuk merekayasa masa depan yang lebih baik, beradab, dan bermartabat. 

Jika kita melihat capaian pembangunan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang terjadi di Aceh sampai hari ini, Aceh sebagai bagian dari NKRI dan berstatus daerah otonomi khusus berdasarkan UUPA No.11 Tahun 2006 merupakan daerah yang sangat kaya akan sumber daya alamnya tetapi juga sangat kaya dengan pengangguran dan kemiskinan rakyatnya.

Berdasarkan “Laporan Pembangunan Manusia Aceh 2010” yang diterbitkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia disebutkan bahwa; Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh mengalami peningkatan lebih lambat (negatif) dalam beberapa tahun terakhir, dengan menduduki peringkat ke-29 dari 33 provinsi di Indonesia pada 2008/peringkat 5 terbawah (data terakhir UNDP), kemudian terkait dengan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) Aceh masih berada pada angka 22%, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 14 persen.

Ditinjau dari segi ukuran pendapatan Product Domestic Regional Bruto (PDRB) per kapita, “LPM Aceh 2010” terbitan UNDP juga menunjukkan kalau Aceh merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia, tetapi pengeluaran per kapita menunjukkan bahwa masyarakat Aceh berada di antara yang termiskin, begitu juga halnya dengan penyediaan lapangan pekerjaan, pertumbuhan PDRB Aceh memberikan dampak yang lebih rendah terhadap penciptaan lapangan kerja serta partisipasi tenaga kerja jauh di bawah rata-rata nasional, artinya angka pengangguran di Aceh juga masih tinggi.

Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi pembangunan Aceh di masa depan, apalagi jika melihat sumber terbesar PDRB Aceh adalah berasal dari sektor migas yang terus mengalami penyusutan akibat kehabisan cadangan yang diperkirakan habis beberapa tahun ke depan.

Kondisi kekinian Aceh, jika ditinjau dari aspek sosial-politik juga mengalami pembangunan yang sangat memprihatinkan. Laporan berbagai media massa lokal juga ditemukan berbagai tindakan kelompok-kelompok tertentu yang berpotensi merusak perdamaian Aceh dan menodai demokrasi yang sedang dibangun Aceh. Tindakan kekerasaan terhadap masyarakat masih menghantui akan pahitnya masa-masa konflik dulu, beberapa contoh diantaranya; pemukulan terhadap wartawan di Padang Tiji-Pidie, tindak kekerasan yang dialami seorang penceramah di Bambong-Pidie, penyebaran aliran sesat yang menghebohkan Aceh akhir-akhir ini hingga isu teroris. 

Suhu politik juga semakin memanas menjelang masa transisi kekuasaan eksekutif jelang Pilkada, salah satu di antaranya soal kisruh mengenai UU calon independen yang belum ada titik terang hingga hari ini. Berbagai problematika ekonomi, sosial, dan politik di Aceh hari ini, tentu menjadi tugas bersama semua elemen masyarakat Aceh sebagai stakeholder dari “seorang anak yang akan berusia 6 tahun” (baca; Aceh) dalam sebuah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Seluruh stakeholder harus memahami peran, tanggung jawab, dan berpartisipasi aktif bagi pembangunan Aceh kedepan. Masyarakat politik (pemerintah/birokrat, parpol, dan politisi), masyarakat ekonomi (Kadin, Hipmi, Pengusaha, dll), dan masyarakat sipil (LSM, Ormas, OKP, Civitas Akademika, Mahasiswa, dll.) harus berpartisipasi aktif sesuai dengan perannya masing-masing untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang damai dan demokratis menuju nanggroe yang seujahtera.

Masyarakat Aceh tentu memahami bahwa di era damai ini, musuh bersama kita hari ini bukan lagi bangsa kulit putih Belanda yang pernah menjajah selama 69 tahun  (1873-1942), atau negeri matahari terbit Jepang yang pernah menduduki Aceh selama 3 tahun (1942-1945), maupun Pemerintah Pusat yang dulunya pernah mengkhianati dan mengecewakan rakyat Aceh.

Musuh bersama kita yang sesungguhnya hari ini terutama adalah kemiskinan dan kebodohan, serta elemen-elemen yang ingin merusak perdamaian Aceh saat ini yang sudah berusia hampir 6 tahun, ibarat seorang anak kecil berusia 6 tahun yang baru menempuh pendidikan Sekolah Dasar, begitu juga dengan usia perdamaian Aceh hari ini yang menjelang usia 6 tahun pada tanggal 15 Agustus nanti, tentu harus dijaga bersama oleh seluruh elemen masyarakat melalui pendidikan dan pencerdasan publik agar tidak ada lagi slogan di masyarakat “Geuyue Jak Sikula Gadoh Kalop Lam Puep” seperti yang disampaikan dalam film “Eumpang Breuh”, agar masyarakat Aceh lebih cerdas dalam menyikapi isu-isu publik apalagi dalam menyikapi proses pelaksanaan pilkada untuk menentukan pemimpin pemimpin terbaik Aceh ke depan.

Terakhir sedikit mengingat kata-kata Teungku Hasan Muhammad di Tiro bahwa, “Biaya perang sangat mahal akan tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah kedamaian ini untuk kesejahteraan kita semua”. 

* Munzami Hs adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unsyiah.

Artikel ini dimuat di : 
serambinews.net

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini