Label

Selasa, 27 Maret 2012

Tolak BBM atau Terima BLT?

Oleh : Munzami Hs

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang direncanakan pemerintah mulai 1 April mendatang merupakan suatu kebijakan yang sangat mengganggu stabilitas ekonomi negara, terutama roda perekonomian yang bersentuhan langsung dengan masyarakat kecil.

Berbagai aksi penolakan, mulai dari demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, perang opini di media, pro-kontra antar politisi di Senayan, hingga aksi penurunan foto Presiden SBY oleh mahasiswa di DPR menghiasi pemberitaan berbagai media massa baik media daerah, nasional bahkan internasional menjelang penetapan kenaikan BBM per 1 April mendatang.


Jika membaca opini Darmadi Sulaiman (Serambi, 20/3/2011), kenaikan BBM bersubsidi  digambarkan akan berdampak besar terutama bagi masyarakat kecil (buruh, petani, nelayan, tukang becak, dsb), hal sebaliknya terjadi dengan pihak pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif (pusat dan daerah) yang mampu mengatasinya melalui tunjangan sana-sini yang bersumber dari APBN/D/K. Dampak kenaikan BBM memang sangat berpengaruh terhadap masyarakat, namun dalam artikel ini, penulis tertarik untuk mencoba mengkaji perihal sumber masalah dinaikkannya BBM dan rencana pemerintah untuk memberikan subsidi Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi 18,5 juta rumah tangga sasaran (RTS) miskin.

Meningkatnya Subsidi
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Radjasa, menyatakan kenaikan BBM disebabkan oleh subsidi yang terus membengkak dan melonjaknya harga minyak mentah  dunia sehingga berdampak terhadap kenaikan Indonesian Crude Price (ICP). Menurut pemerintah, besaran subsidi tanpa kenaikan harga BBM akan mencapai Rp 178,62 triliun, tapi dengan kenaikan harga BBM, subsidi bisa ditekan Rp 137,38 triliun (Sumber: antaranews, 14/3/2012), artinya jika BBM dinaikkan pada 1 April mendatang maka pemerintah bisa menekan biaya subsidi sebesar Rp 41,24 triliun.

Muncul pertanyaan kemudian, jika hanya untuk menekan subsidi BBM sebesar Rp 41,24 triliun diatas, apakah solusinya hanya dengan menaikkan BBM? Kemudian apakah langkah pemerintah menyiasati kenaikan BBM melalui bantuan terhadap 4 sektor; BLT atau Bantuan Langsung Sementara Masyarakat(BLSM) yang nilainya mencapai Rp 25,6 triliun, bantuan siswa miskin Rp 3,4 triliun, subsidi transportasi massal Rp 5 triliun serta penyaluran raskin untuk 18,5 juta RTS bisa tepat sasaran?

Berbagai kalangan berpendapat, bahwa jika 4 sektor subsidi tersebut yang totalnya mencapai Rp 34 triliun (belum termasuk raskin) diterapkan pemerintah, maka bukan tidak mungkin dana bantuan tersebut rawan praktek korupsi, mulai dari tingkat pusat, daerah hingga birokrasi desa, terutama BLT yang totalnya mencapai 25,6 triliun.
Kepala Divisi Monitoring dari Indonesia Coruption Watch (ICW), Ade Irawan, menilai pemberian BLT kepada masyarakat miskin pasca kenaikan BBM bersubsidi sangat rawan korupsi. Selain itu, pemberian BLT itu sangat tidak efektif karena banyak salah sasaran seperti yang terjadi beberapa waktu lalu ketika pemerintah memberikan bantuan yang sama kepada masyarakat kurang mampu pasca kenaikan BBM (Sumber: voanews.com, 15/3/2012). Dari segi politis, kebijakan ini juga dianggap sebagai bentuk pencitraan pemerintah saat ini untuk kepentingan Pemilu 2014.
Apabila diasumsikan BBM tak naik, BLT tetap dan tanpa ada penambahan subsidi, maka secara tidak langsung ratusan juta masyarakat (bukan hanya 18,5 juta RTS) akan ikut merasakan subsidi karena masyarakat tidak perlu membeli premium/solar seharga Rp 6.000/liter jika harga BBM jadi naik sebesar Rp 1.500/liter. Jika pemerintah tetap juga menaikkan BBM, subsidi BLT/BLSM kemudian diterapkan, maka dikhawatirkan bantuan subsidi tersebut sangat rawan ”sunatan massal” sehingga masyarakat miskin tetap saja miskin dan harus ikut menanggung beban negara dalam hal pemenuhan kebutuhan minyak dalam negeri.
Disisi lain, jumlah masyarakat miskin penerima BLT seperti yang dirilis oleh pemerintah yaitu dari 17,5 RTS naik menjadi 18,5 juta RTS atau jika diasumsikan setiap RTS terdiri dari 4 orang maka ada sekitar 74 juta jiwa masyarakat miskin di Indonesia. Angka ini tanpa disadari oleh pemerintah menunjukkan bertambahnya jumlah masyarakat miskin Indonesia.
Kenaikan ICP
Dari sektor harga minyak, meningkatnya harga minyak dunia yang terus fluktuatif akibat krisis global, terutama krisis Timur Tengah (Iran), juga membuat harga minyak mentah Indonesia (ICP) ikut naik, dari asumsi awal USD90 per barel (APBN 2012) menjadi USD105 per barel, asumsi dalam APBN-P 2012.
Dampak kenaikan ICP ini, salah satunya yaitu akibat dari menurunnya lifting minyak dalam negeri dari 1,3 juta barel per hari pada awal masa pemerintahan SBY, kini menurun menjadi 930 ribu barel per hari. Hal ini menunjukkan kinerja pemerintah dibidang pengelolaan energi terjadi penurunan dan ketidaksiapan pemerintah dan mengelola energi alternatif untuk menanggulangi merosotnya produksi minyak serta belum siapnya konversi dari BBM ke bahan bakar gas.

Akhirnya, penulis berkesimpulan bahwa dalam hal menyikapi kenaikan BBM, pemerintah tidak hanya berpatokan pada fluktusi harga minyak dunia. Perlunya strategi-strategi yang lebih bijak dan memihak rakyat untuk menutupi membengkaknya defisit APBN, diantaranya; memangkas anggaran yang tidak urgensi untuk belanja pegawai yang saat ini masih terlihat boros, memberantas mafia pajak supaya pendapatan sektor pajak meningkat, meningkatkan pengelolaan SDA migas agar produksi minyak mampu menutupi kebutuhan dalam negeri.

Mengenai subsidi BLT pasca kenaikan BBM nantinya, penulis berasumsi bahwa bantuan tersebut sifatnya non produktif (BLT, raskin, dan subsidi transportasi) kecuali beasiswa bagi siswa miskin. Opsi terakhir yang mungkin muncul terhadap krisis BBM saat ini, paling tidak masyarakat dapat berandai-andai apakah menolak kenaikan BBM atau menerima BLT sebagai imbas dari kenaikan BBM jika pemerintah sudah final menaikkan BBM mulai 1 April mendatang.

* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unsyiah, saat ini sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Kajian IDEAS – Aceh. Email: munzamihs@yahoo.com 

Artikel ini dimuat di Harian Serambi Indonesia

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini