Oleh : Munzami
Hs
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
yang direncanakan pemerintah mulai 1 April mendatang merupakan suatu kebijakan
yang sangat mengganggu stabilitas ekonomi negara, terutama roda perekonomian
yang bersentuhan langsung dengan masyarakat kecil.
Berbagai aksi penolakan, mulai dari demonstrasi
yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, perang opini di media, pro-kontra
antar politisi di Senayan, hingga aksi penurunan foto Presiden SBY oleh
mahasiswa di DPR menghiasi pemberitaan berbagai media massa baik media daerah,
nasional bahkan internasional menjelang penetapan kenaikan BBM per 1 April
mendatang.
Jika membaca opini Darmadi Sulaiman
(Serambi, 20/3/2011), kenaikan BBM bersubsidi digambarkan akan berdampak besar terutama bagi
masyarakat kecil (buruh, petani, nelayan, tukang becak, dsb), hal sebaliknya
terjadi dengan pihak pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif (pusat dan
daerah) yang mampu mengatasinya melalui tunjangan sana-sini yang bersumber dari
APBN/D/K. Dampak kenaikan BBM memang sangat berpengaruh terhadap masyarakat, namun
dalam artikel ini, penulis tertarik untuk mencoba mengkaji perihal sumber
masalah dinaikkannya BBM dan rencana pemerintah untuk memberikan subsidi Bantuan
Langsung Tunai (BLT) bagi 18,5 juta rumah tangga sasaran (RTS) miskin.
Meningkatnya Subsidi
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian,
Hatta Radjasa, menyatakan kenaikan BBM disebabkan oleh subsidi yang terus
membengkak dan melonjaknya harga minyak mentah dunia sehingga berdampak terhadap kenaikan Indonesian Crude Price (ICP). Menurut
pemerintah, besaran subsidi tanpa kenaikan harga BBM akan mencapai Rp 178,62
triliun, tapi dengan kenaikan harga BBM, subsidi bisa ditekan Rp 137,38 triliun
(Sumber: antaranews, 14/3/2012), artinya jika BBM dinaikkan pada 1 April
mendatang maka pemerintah bisa menekan biaya subsidi sebesar Rp 41,24 triliun.
Muncul pertanyaan kemudian, jika hanya
untuk menekan subsidi BBM sebesar Rp 41,24 triliun diatas, apakah solusinya
hanya dengan menaikkan BBM? Kemudian apakah langkah pemerintah menyiasati
kenaikan BBM melalui bantuan terhadap 4 sektor; BLT atau Bantuan Langsung
Sementara Masyarakat(BLSM) yang nilainya mencapai Rp 25,6 triliun, bantuan
siswa miskin Rp 3,4 triliun, subsidi transportasi massal Rp 5 triliun serta
penyaluran raskin untuk 18,5 juta RTS bisa tepat sasaran?
Berbagai kalangan berpendapat, bahwa jika 4 sektor subsidi tersebut yang
totalnya mencapai Rp 34 triliun (belum termasuk raskin) diterapkan pemerintah,
maka bukan tidak mungkin dana bantuan tersebut rawan praktek korupsi, mulai
dari tingkat pusat, daerah hingga birokrasi desa, terutama BLT yang totalnya
mencapai 25,6 triliun.
Kepala Divisi Monitoring dari Indonesia
Coruption Watch (ICW), Ade Irawan, menilai pemberian BLT kepada masyarakat
miskin pasca kenaikan BBM bersubsidi sangat rawan korupsi. Selain itu,
pemberian BLT itu sangat tidak efektif karena banyak salah sasaran seperti yang
terjadi beberapa waktu lalu ketika pemerintah memberikan bantuan yang sama
kepada masyarakat kurang mampu pasca kenaikan BBM (Sumber: voanews.com,
15/3/2012). Dari segi politis, kebijakan ini juga dianggap sebagai bentuk
pencitraan pemerintah saat ini untuk kepentingan Pemilu 2014.
Apabila diasumsikan BBM tak naik, BLT tetap dan tanpa ada penambahan
subsidi, maka secara tidak langsung ratusan juta masyarakat (bukan hanya 18,5
juta RTS) akan ikut merasakan subsidi karena masyarakat tidak perlu membeli
premium/solar seharga Rp 6.000/liter jika harga BBM jadi naik sebesar Rp
1.500/liter. Jika pemerintah tetap juga menaikkan BBM, subsidi BLT/BLSM
kemudian diterapkan, maka dikhawatirkan bantuan subsidi tersebut sangat rawan
”sunatan massal” sehingga masyarakat miskin tetap saja miskin dan harus ikut
menanggung beban negara dalam hal pemenuhan kebutuhan minyak dalam negeri.
Disisi lain, jumlah masyarakat miskin penerima BLT seperti yang dirilis
oleh pemerintah yaitu dari 17,5 RTS naik menjadi 18,5 juta RTS atau jika
diasumsikan setiap RTS terdiri dari 4 orang maka ada sekitar 74 juta jiwa
masyarakat miskin di Indonesia. Angka ini tanpa disadari oleh pemerintah
menunjukkan bertambahnya jumlah masyarakat miskin Indonesia.
Kenaikan ICP
Dari sektor harga minyak, meningkatnya
harga minyak dunia yang terus fluktuatif akibat krisis global, terutama krisis Timur
Tengah (Iran), juga membuat harga minyak mentah Indonesia (ICP) ikut naik, dari
asumsi awal USD90 per barel (APBN 2012) menjadi USD105 per barel, asumsi dalam
APBN-P 2012.
Dampak kenaikan ICP ini, salah satunya
yaitu akibat dari menurunnya lifting
minyak dalam negeri dari 1,3 juta barel per hari pada awal masa pemerintahan
SBY, kini menurun menjadi 930 ribu barel per hari. Hal ini menunjukkan kinerja
pemerintah dibidang pengelolaan energi terjadi penurunan dan ketidaksiapan
pemerintah dan mengelola energi alternatif untuk menanggulangi merosotnya
produksi minyak serta belum siapnya konversi dari BBM ke bahan bakar gas.
Akhirnya, penulis berkesimpulan bahwa
dalam hal menyikapi kenaikan BBM, pemerintah tidak hanya berpatokan pada
fluktusi harga minyak dunia. Perlunya strategi-strategi yang lebih bijak dan
memihak rakyat untuk menutupi membengkaknya defisit APBN, diantaranya;
memangkas anggaran yang tidak urgensi untuk belanja pegawai yang saat ini masih
terlihat boros, memberantas mafia pajak supaya pendapatan sektor pajak
meningkat, meningkatkan pengelolaan SDA migas agar produksi minyak mampu
menutupi kebutuhan dalam negeri.
Mengenai subsidi BLT pasca kenaikan BBM
nantinya, penulis berasumsi bahwa bantuan tersebut sifatnya non produktif (BLT,
raskin, dan subsidi transportasi) kecuali beasiswa bagi siswa miskin. Opsi
terakhir yang mungkin muncul terhadap krisis BBM saat ini, paling tidak
masyarakat dapat berandai-andai apakah menolak kenaikan BBM atau menerima BLT
sebagai imbas dari kenaikan BBM jika pemerintah sudah final menaikkan BBM mulai
1 April mendatang.
* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas
Ekonomi Unsyiah, saat ini sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Kajian IDEAS –
Aceh. Email: munzamihs@yahoo.com
Artikel ini dimuat di Harian Serambi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar